FAZLUR RAHMAN:
PEMIKIRAN TENTANG HADIS DAN SUNNAH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadist
Dosen Pengampu:
Dr.
H. Muhtadi Ridwan, M.Ag.
Oleh:
Husaen
Sudrajat
NIM: 15761011
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam bangunan dan sumber keilmuan
Islam, hadis atau sunnah menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Sunnah
adalah fondasi yang sangat pokok. Sebagai sentral acuan umat Islam, logis dan
wajar jika sunnah diapresiasi oleh umat Islam melebihi yang lain. Sunnah
merupakan sumber inspirasi dan ajaran umat Islam. Dengan demikian, aspek
kesejarahan sunnah perlu diangkat ke permukaan. Hadis yang merupakan refleksi
dari sunnah adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan
merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam. Hadis
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah memutuskan perkara berdasarkan satu
saksi dan satu sumpah adalah sebuah penyataan singular mengenai satu peristiwa,
yaitu peristiwa pemutusan perkara dengan satu saksi dan satu sumpah. Dengan
demikian, setiap hadis adalah suatu pernyataan singular di sekitar Rasulullah
Saw.[1]
Secara historis, pada mulanya hadis
hanya disandarkan kepada Nabi. Sepeninggal Nabi, apa yang datang dari sahabat
dimasukkan sebagai hadis. Pada perkembangan berikutnya, fatwa yang dikeluarkan
tabi‘in juga disebut hadis. Dalam ilmu hadis, hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah, sahabat, dan tabi‘in kualifikasinya berbeda. Dalam pemilahan ini,
hadis yang bersumber dari Rasulullah disebut hadis marfu‘, yang bersumber dari
sahabat disebut hadis mawquf, dan yang bersumber dari tabi‘in disebut hadis
maqtu‘.[2]
Historisitas sunnah secara evolutif dengan kajian yang menekankan pada
otentisitas hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak abad pertama
Hijriah sampai abad ketigabelas Hijriah tidak mengalami problem. Pada tahun
1980 M, dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru dalam
kritik hadis. Kajian akadamis yang menolak persyaratan-persyaratan atau
criteria ontentisitas hadis muncul baik dari kalangan non-muslim maupun muslim.[3]
Kemunculan metode baru ini terjadi pro dan kontra di kalangan intelektual.
Diskursus pemikiran sunnah yang
dilakukan para pemikir Islam (insider)
dan para orientalis (outsider) adalah
dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan
representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji sunnah dalam
konteks evolusi historistas hadis.
Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh non-muslim lain yang merupakan
reperesentasi dari kalangan orientalis juga mengkajinya secara sama. Dalam
kajian mereka, diakui atau tidak problem akademis muncul dan menarik untuk
diteliti. Representasi dari kalangan
muslim yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang
skeptis terhadap sunnah dan hadis. Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur
Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis
atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu
sendiri dan para orientalis. Dalam studi ini, penulis berupaya membahas
pemikiran Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pada
makalah ini, diantaranya:
1. Bagaiman
Bentuk Biografi Fazlur Rahman ?
2. Bagaimana
Pemikiran Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam
makalah ini, yaitu:
1.
Memahami Bentuk Biografi Fazlur Rahman
2.
Memahami Pemikiran Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21
September 1991 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum
terpecahnya India, kini merupakan bagian Pakistan. Ia wafat pada tanggal 26
Juli 1988 di Chicago, Illionis. Ayahnya bernama Maulana Shihabuddin, alumnus Dar
al-‘Ulum Deoband.[4]
Di Deoband Shihabuddin belajar dengan beberapa tokoh terkemuka, di antaranya
Maulana Mahmud Hasan (w. 1920) dan Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (w.1905).
Meskipun Rahman tidak belajar di Dar al-‘Ulum, ia menguasai kurikulum
Darse-Nizami yang ditawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan
ayahnya. Ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisional
dengan perhatian khusus pada fiqh, ilmu
kalam, hadis, tafsir, mantiq, dan filsafat. Setelah itu ia melanjutkan
studi ke Punjab University di Lahore. Ia lulus dengan penghargaan dalam bidang
Bahasa Arab dan di sana mendapatkan gelar M.A.[5]
Pada tahun 1946, ia memutuskan untuk
melanjutkan studi ke Oxford University. Keputusan ini merupakan awal sikap
kontroversial Rahman. Ia dianggap ganjil oleh ulama Pakistan jika seorang
muslim belajar Islam di Barat. Lebih dari itu, sikap yang cenderung ke Barat
dinilai negatif meskipun langkah yang ditempuh untuk kebaikan dan kemajuan umat
Islam. Menurut Rahman, kondisi objektif masyarakat Pakistan belum mampu
menciptakan intelektual yang solid dan baik.[6]
Secara kelembagaan, pendidikan Islam tingkat tinggi di Pakistan belum memenuhi
standar akademik. Kapasitas guru besar dengan tradisi penelitian masih di bawah
standar jika dibandingkan dengan Barat. Kondisi ini berpengaruh pada Rahman
yang pada akhirnya ia tetap melanjutkan studi ke Barat. Kondisi di atas berbeda
dengan di Barat. Wacana ilmiah yang rasionalistik berkembang
dengan pesat. Suburnya
pemikiran dibidang kajian ilmiah
tidak hanya dalam bidang sains, tetapi juga filsafat dan
keislaman. Ignaz Goldzhiher,
Joseph Schacht, H.R. Ghibb, N.J. Coulson, dan J.N.D. Anderson
adalah contoh konkret. Mereka dicetak di Barat dengan kemampuan akademik dalam
bidang pemikiran filsafat
dan keislaman. Kemajuan
yang dicapai Barat itu adalah
pilar penting bagi Rahman untuk melanjutkan kesana.
Selama di Ingris Rahman giat mempelajari
beberapa bahasa Barat, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Ingris, Perancis, dan
Jerman. Penguasaan Rahman terhadap bahasa-bahasa itu membantu upayanya dalam
memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studinya
terhadap literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis.[7]
Dengan penguasaan tersebut, Rahman berani mengkritisi karya-karya orientalis
dalam kajian pemikiran Islam, khususnya dalam kajian hadis dan sunnah.
Pada tahun 1950, Rahman menyelesaikan
studi doktornya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibn
Sina di bawah pengawasan Simon van Den Bergh. Selama itu ia juga merampungkan
penerjemahan karya Ibn Sina, Kitab al-Najah untuk diterbitkan di Oxford
University Press dengan judul Avesina psychology. Kitab al-Najah itu merupakan
ringkasan Ibnu Sina dari Kitab al-Shifa’, karya Ibnu Sina yang terbesar.
Belakangan ia juga menyunting Kitab al-Nafs karya Ibnu Sina yang lain yang juga
bagian dari Kitab
al-Shifa’.[8] Kemampuan
Rahman mengelaborasi pemikiran
Ibn Sina mengangkat karirnya sebagai tokoh yang ahli dalam bidang ketimuran. Ia
dinilai sebagai pakar yang ahli dalam bidang pemikiran Ibn Sina.
Setelah di Oxford, ia mengajar Bahasa
Persi dan Filsafat Islam di Durham University dari tahun 1950-1958. Ia
meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di
Institute of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal.[9] Ketika
di Durham University, ia merampungkan karya orisinalnya Prophecy in Islam:
Philosophy and Ortodoxy. Buku ini diterbitkan pada tahun 1958. Penulisan karya ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama itu sarjana-sarjana modern yang
mengkaji pemikiran keislaman kurang
menaruh perhatian terhadap
masalah doktrin kenabian. Buku ini merupakan titik sentral yang
sama-sama dihadapi oleh arus pemikiran Islam tradisional dan helenis. Dalam karya
ini, Rahman mengulas sumber-sumber helenis dari doktrin filosofis dalam
berbagai aspek.[10]
Setelah menjadi profesor tamu di University of California Los Angeles pada
tahun 1969, ia dikukuhkan sebagai guru besar pemikiran Islam di University of
Chicago di musim gugur 1969. Pada tahun 1986 ia dianugerahi Harold H. Swift
Distinguished Service Professor di Chicago. Penghargaan ini disandangnya sampai
ia meninggal pada tahun 1988.[11]
B. Pemikiran Fazlur Rahman Tentang
Hadis dan Sunnah
1.
Kegelisahan akademik Fazlur Rahman Terhadap Studi
Orientalis Dan Ulama Tentang Sunnah dan Hadits
Fazlur Rahman
berpendapat bahwa sunnah adalah sebuah konsep perilaku baik yang diterapkan
dalam aksi-aksi laku atupun mental. Dengan kata lain, sunnah merupakan sebuah
hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali atau berulangkali. Kemudian karena
karena sesungguhnya tingkah laku yang
imaksud adalah tingkah laku dengan kesadaran, maka sebuah sunnah tidak
hanya merupakan sebuah hukum ingkah laku, tetapi juga merupakan sebuah hukum
moral yang nornatif. Keharusan moral adalah sebuah unsur yang tak dapat
dipisahkan dari pengertian konsep sunnah. Dalam menjelaskan sunnah, Rahman
memberikan contoh arti sunnah dengan mengutip pendapat Ibn Durayd dengan arti shawwara atau membuat sesuatu menjadi lebih teladan.[12]
Fazlur Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah
secara realistis berevolusi secara historis. Pendekatan Rahman ini merupakan
respons terhadap para orientalis ketika ia berada di Barat dan respons terhadap
ulama Islam tradisonal
dan fundamental yang menghujatnya sewaktu ia berada di
Pakistan; juga sebagai respons terhadap tokoh Islam modernis.
Menurut Ignaz Goldziher, hampir tidak mungkin ada
keyakinan untuk menyaring banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu hadis
yang dapat dipastikan berasal dari Rasulullah dan para sahabat awal. Karena
itu, hadis harus dianggap sebagai catatan atau pandangan dari generasi muslim
awal daripada sebagai catatan kehidupan dan ajaran Nabi dan sahabat-sahabatnya.[13]
Namun ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya sebagai
norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang
diwartakan.[14]
Dengan demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang hidup.[15]
Perbedaan antara hadis dan sunnah adalah bahwa hadis merupakan laporan-laporan
teoritis, sedang sunnah merupakan laporan-laporan yang memperoleh kualitas normative
dan telah menjadi prinsip praktis bagi generasi muslim.[16]
Artinya, sebagian besar materi hadis lebih merupakan hasil perkembangan religius,
historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama. Konsekuensi logisnya,
Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai
sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara tentang sunnah, ia
mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra Islam dengan makna
tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan.
Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah menjadi model perilaku Nabi,
dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam berakhir.[17]
Selain Goldziher terdapat Snouck Hurgronje. Dalam
penelitiannya terhadap evolusi hadis, dia berpandangan bahwa sunnah yang
terdapat dalam berbagai hadis merupakan postulat dogmatis umat Islam. Keyakinan
para pemimpin Islam pada dua atau tiga abad pertana Islam bahwa setiap aturan
yang diikuti oleh masyarakat Islam harus didasarkan pada sunnah. Dengan
demikian, para ulama pada periode awal menambah pandangan dalam setiap masalah
yang dianggap penting bagi masyarakat dalam bentuk hadis.[18]
Demikian juga Margoliouth, menurutnya Muhammad sama
sekali tidak meninggalkan sunnah. Sunnah yang dipraktikkan umat Islam awal
bukan merupakan sunnah Nabi tetapi kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang telah
dimodifikasi al-Qur’an. Menurutnya, untuk
memberikan otoritas dan
normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, umat Islam pada
abad kedua Hijriah telah mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan
mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.[19]
Tokoh orientalis yang lain adalah Joseph Schacht.
Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan.
Al-Shafi‘i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi
batasan terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi
Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum
al-Shafi‘i, sunnah mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat
yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan praktik yang
disepakati secara umum.[20]
Menurutnya, “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya
hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in, kemudian pada
sahabat, dan akhirnya pada Nabi.
Menurut ‘Azami, Ignaz Goldziher adalah orientalis
pertama yang melakukan kajian tentang hadis, kemudian disusul orientalis lain
seperti Joseph Schacht dan lain-lain. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada
kesimpulan bahwa apa yang disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda
Nabi, maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis
yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah
hukum.[21]
Dari batasan-batasan sunnah yang diberikan para
orientalis itu sangat jelas bahwa mereka tidak menghubungkan sunnah kepada
Nabi. Pengaitan sunnah dinilai muncul masa belakangan. Dengan demikian, sunnah
yang menjadi pegangan umat Islam selama ini sebagai perbuatan dan perkataan
Nabi tidak pernah ada. Di tengah kegelisahannya, kemudian
Rahman menjelaskan beberapa sebab
penolakan sarjana Barat terhadap hadis. Menurut Rahman, mereka menemukan
diantaranya :
1.
bahwa sebagian besar kandungan sunnah
merupakan tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadat pra Islam;
2.
bahwa sebagian besar kandungan sunnah
merupakan hasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam awal yang, dengan
ijtihad, telah membuat beberapa deduksi dari sunnah dan menambahkan
elemen-elemen baru, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan praktik pemerintahan
Bizantium serta Persia; dan
3.
ketika hadis berkembang menjadi gerakan
yang besar dan menjadi fenomena massif pada akhir abad kedua, khususnya abad
ketiga H, seluruh kandungan sunnnah yang awal dihubungkan secara verbal kepada
Nabi di bawah lindungan konsep sunnah.[22]
Selain tokoh orientalis, di kalangan ulama terjadi
skeptisisme terhadap hadis. Tendensi skeptisisme hadis di anak benua
Indo-Pakistan bermula dari Sir Sayyid dan koleganya di abad ke-19. Skeptisisme
Sir Sayyid mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kalangan modernis di anak
benua tersebut. Parwez tampaknya mengelaborasi lebih jauh skeptisisme Sir
Sayyid untuk memberi definisi tentang “Islam” bagi Pakistan yang semata-mata
bertumpu pada al-Qur’an. Bagi Parwez, hadis tidak dipandang sebagai sumber
kedua Islam. Dengan mengembangkan metode kritik matn Sir Sayyid, ia sampai pada
kesimpulan yang ekstrem bahwa hadis banyak mengandung hal-hal yang tidak masuk
akal, terlalu antropromorfis, bahkan secara moral memalukan. Oleh karena itu,
hadis tidak dipandang sebagai bersumber dari Nabi. Parwez dan kelompoknya,
lewat beberapa penerbitan dalam jurnal mereka, Tulu‘ al-Islam, juga beranggapan
bahwa walaupun sebuah hadis terbukti secara historis, namun hadis itu tidak
normatif bagi umat Islam dewasa ini. Nabi dalam pernyataan dan tindakan ekstra
Qur’aninya tidak luput dari kekeliruan.
Dalam beberapa hal, Nabi hanya menafsirkan al-Qur’an
pada masanya. Pandangan Parwez semacam ini mempengaruhi perumusan artikel
“Islam” dalam Konstitusi 1962. Karena gagasannya tersebut, ia mendapat fatwa
takfir dari kalangan ulama.[23]
2.
Respons
Fazlur Rahman Terhadap Validitas Sunnah
Pemikiran
para orientalis tentang
teori evolusi direspons
oleh Rahman. Dalam kajiannya, Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori
para orientalis tentang evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat
dengan teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim
belakangan. Menurutnya, konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam
belakangan dalam pandangan orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah
adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal Islam dan berlaku sepanjang
masa.[24]
Secara eksplisit, menurut Rahman, istilah sunnah di dalam al-Qur’an memang
tidak ada, tetapi konsep sunnah sejak zaman Nabi telah ada.[25]
Dalam pandangan Rahman, di dalam al-Qur’an terdapat beberapa keterangan yang
menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai teladan yang baik (uswah hasanah). Oleh
karena itu, umat Islam sejak awal tetap beranggapan bahwa praktik Nabi sebagai
konsep.[26]
Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya
dengan uswah. Kesimpulan yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep
pengayom. Konsepsi ini secara jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya
meluruskan kekeliruan pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para
orientalis.
Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem
periwayatan. Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah.
Untuk membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang
ditujukan kepada ‘Abd al-Malik bin Marwan. Dalam sebuah riwayat, ‘Abd al-Malik
minta penjelasan kepada al-Basri tentang kebebasan manusia yang belum pernah
ada sebelumnya. Artinya, secara formal dan verbal tentang kebebasan manusia
belum ada. ‘Abd al-Malik tidak mengetahui sahabat yang mempunyai pandangan
semacam itu. Dia minta agar ditunjukkan riwayat hadis yang mengakui kebebasan
manusia. Dalam jawabannya melalui surat, al-Basri menjelaskan bahwa para
pendahulu tidak ada yang menolak tentang kebabasan manusia dan di antara mereka
tidak ada yang berbeda pendapat.[27]
Hal yang penting dari seorang khalifah, menurut
Rahman, adalah bahwa ia meminta beberapa alternatif dasar yang dipakai al-Basri
untuk mendukung kebenaran pendapatnya, di antaranya adalah riwayat
hadis dari salah
seorang sahabat Nabi.
Hal ini menunjukkan bahwa sebelum
masa itu telah berkembang tradisi periwayatan, sekaligus menunjukkan
otoritatifnya generasi sahabat dalam hal periwayatan. Jawaban al-Basri tentang
sunnah Nabi yang berkaitan dengan kebebasan manusia, meskipun tidak menyebutkan
periwayatan yang bersumber dari Nabi, memberi sinyalemen adanya sunnah. Hal ini
bukan berarti tidak ada sebuah riwayat yang menjadi dasar bagi al-Basri, tetapi
ia bermaksud menekankan teologi bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang
baru.[28]
Selain itu, surat al-Basri merupakan petunjuk arah,
bukan serangkaian aturan yang ditetapkan secara pasti. Pengertian sunnah
semacam ini merupakan dasar pemikiran umat Islam awal.[29]
Dengan demikian, doktrin determinasi secara implisit bertentangan dengan ajaran
sunnah Nabi dan “sunnah ideal” secara realistis telah berkembang pada masa kaum
muslim awal.
Untuk memperkuat hal tersebut, Rahman juga mengutip
kebiasaan Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip terlebih dahulu
riwayat hadis dalam
menjawab setiap masalah yang dihadapi, kemudian menyampaikan
pernyataan seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita
adalah...,”kadang-kadang ia menggunakan
istilah “sunnah yang
kita akui adalah....” Imam Malik,
misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada
seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Malik menyatakan “dan
hal ini merupakan sunnah bagi kita.” Lantas kepada Sa‘id bin Musayyab, ahli hukum
yang populer di Madinah, Malik bertanya kepadanya: “Adakah sunnah
mengenai shuf‘ah,” ia
menjawab: “ya, tetapi shuf‘ah
hanya berlaku atas rumah dan tanah.[30]
Dalam pernyataan pertama, menurut Rahman, sunnah berarti praktik yang dilakukan
oleh kaum muslim Madinah, dan pengertian seperti ini tidak cocok dalam
pernyataan yang kedua, karena untuk suatu praktik yang telah disepakati tidak
mungkin dipertanyakan “adalah sunnah mengenai hal ini.” Untuk itu, pernyataan kedua
tersebut harus suatu preseden yang normatif, bisa berupa sunnah Nabi dan bisa
berupa sunnah sahabat yang bersumber dari Sunnah Nabi.[31]
Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan data
historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi
yang hidup antara akhir abad pertama sampai awal abad kedua H. Di dalam syair
terdapat terdapat “sunah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali
sunnah Nabi. Bunyi syairnya sebagai berikut:
Berdasarkan kitab apa atau sunnah
manakah yang engkau memandang cintaku kepada mereka sebagai kebaikan.[32]
Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk
kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa ‘Umar bin Khattab
pernah mengirimkan beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan
al-Qur’an dan sunnah. Dalam informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang
berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat diajarkan tanpa
mempertimbangkan aktivitas Rasulullah. Aktivitas Rasul mencakup bidang politik,
kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. Dengan demikian, al-Qur’an
dan sunnah terdapat pertalian yang utuh.[33]
3.
Konsep
Fazlur Rahman Tentang Sunnah Sebagai Praktik Yang Hidup
Dalam
studi historis, Rahman
mampu menunjukkan eksistensi sunnah. Ia sukses mengelaborasi
realitas sunnah sebagai konsepsi yang datang dari Nabi. Meskipun demikian,
sunnah Nabi merupakan konsep pengayom dan tidak memiliki kandungan spesifik
yang bersifat mutlak. Sunnah dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Menurut
Rahman, Nabi pada dasarnya merupakan pembaru moral manusia. Hingga akhir hayatnya,
Nabi sibuk dengan perjuangan moral menentang orang-orang Mekah Arab. Dia hampir
tidak punya waktu untuk menetapkan aturan. Meskipun demikian, dalam kasus kasus
yang akui Nabi mengeluarkan keputusan dan dalam kasus-kasus tertentu al-Qur’an
harus mengintervensi. Kebanyakan kasus semacam itu bersifat ad hoc dan
diselesaikan secara informal.[34]
Penyelesaian secara ad hoc dari Nabi tidak dipandang secara kaku oleh generasi muslim
awal. Mereka menyempurnakan dan menafsirkan
sunnah Nabi secara
kreatif menjadi “sunnah yang hidup” dalam menghadapi realitas.
Hal ini dapat dilihat dari kebijakan ‘Umar bin Khattab dan para pakar hukum
muslim awal.[35]
Dengan demikian, “sunnah yang hidup”
bermula dari “sunnah ideal” yang
ditafsirkan melalui ijtihad. Oleh karena itu, “sunnah yang hidup” identik dengan ijma‘ dan merupakan ketentuan
yang berproses. Penyelesaian-penyelesaian ad hoc dari Nabi, yang juga merupakan
sunnahnya, tidak dipandang secara kaku oleh generasi-generasi muslim awal.
Mereka ini, menurut Rahman, menyempurnakan dan menafsirkan sunnah Nabi secara
kreatif menjadi “sunnah yang hidup” untuk menghadapi faktor-faktor dan
benturan-benturan baru. Pada titik ini Rahman mengkonfirmasi temuan-temuan
kesarjanaan Barat bahwa kandungan aktual sunnah kaum muslim awal sebagian
besarnya adalah produk ijtihad personal yang telah mengkristal. Hanya saja, ia
memberi substansi baru pada temuan-temuan para sarjana Barat yang juga dengan
jelas membedakan teori yang diajukannya dari teori-teori Barat dengan
menegaskan bahwa sunnah kaum muslim itu berkaitan secara organis dengan
preseden otoritatif dari Nabi, karena ia merupakan penafsiran terhadapnya.[36]
Contoh-contoh di atas membawa Rahman pada kesimpulan
bahwa “sunnah yang hidup” identik dengan ijma‘ kaum muslim atau praktik yang
disepakati, dan bahwa “sunnah yang hidup”
merupakan suatu proses yang tengah berlangsung (on going process) karena
disertai dengan ijtihad dan ijma‘. Pandangan-pandangan Rahman yang telah
diuraikan diringkas dengan jelas dalam kutipan:
1.
bahwa sunnah kaum muslim awal, secara
konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya, berkaitan secara intim
dengan sunnah Nabi dan pandangan bahwa praktik kaum muslim awal adalah hal yang
terpisah dari sunnah Nabi tidak dapat dipegang sama sekali.
2.
bahwa meskipun demikian, kandungan
spesifik yang aktual dari sunnah kaum muslim awal ini sebagian besarnya adalah
produk kaum muslim sendiri.
3.
bahwa agensi kreatif dari kandungan
(sunnah kaum muslim) ini adalah ijtihad personal yang mengkristal ke dalam
ijma‘ berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang sebagai suatu
hal yang amat spesifik; dan
4.
bahwa konsep sunnah atau sunnah dalam
pengertian identik dengan ijma‘. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat secara
keseluruhan merasa sangat perlu untuk menciptakan dan menciptakan kembali
kandungan sunnah Nabi dan bahwa ijma‘ merupakan jaminan untuk mencapai
kebenaran, yakni untuk menjaga kesalahan dari kandungannya yang baru.[37]
Fenomena sunnah-ijma‘ yang merupakan kristalisasi
ijtihad tidak menghapus perbedaan pendapat. Ijma‘ atau sunnah kaum muslim awal
tidak hanya bersifat regional seperti sunnah-ijma‘ Madinah dan Irak, bahkan
lokal. Hal tersebut membuktikan bahwa proses pencapaian ijma‘ melalui perbedaan
praktik lokal dan ijtihad yang berbeda serta memunculkan opini publik, meskipun
pada waktu yang sama proses pemikiran bebas dan penafsiran tetap berproses.
Dengan demikian, pencapaian ijma‘ pada saat itu berjalan secara demokratis.
Proses pencapaian ijma‘ yang berjalan secara demokratis itu dihentikan oleh
al-Shafi‘i dengan gerakan yang sangat kuat dan menghendaki keseragaman serta
menyerukan substitusi hadis untuk proses ijtihad-ijma‘. Dalam konteks ini,
Rahman mengkritik al-Shafi‘i yang memberikan peranan sunnah-ijtihad-ijma‘
kepada sunnah Nabi. Menurut Rahman, al-Shafi‘i memahami sunnah secara harfiah
dan bersifat mutlak. Penalaran al-Shafi‘i berdampak pada rusaknya hubungan
organis di antara sunnah-ijtihad-ijma‘.[38]
Penyempitan makna ini tumbuh pada akhir abad kedua Hijriah karena al-Shafi‘i
menyalahi istilah yang telah lama berkembang dan mengajak masyarakat
menggunakan hadis ahad serta mendahulukan hadis terhadap ketentuan yang berlaku
dalam masyarakat. Sejak saat itu, di kalangan ulama pengertian hadis dan sunnah
adalah semakna.[39]
Gerakan
hadis yang dilancarkan
oleh al-Shafi‘i dilatarbelakangi
oleh tumbuhnya pemikiran bebas pada saat itu yang dalam beberapa hal
menghasilkan keputusan hukum yang bertentangan dengan hadis. Arah yang hendak
dicapai oleh gerakan hadis al-Shafi‘i adalah menekan tumbuhnya praktik-praktik
atau “sunnah yang hidup.” Al-Shafi‘i adalah pembela utama penerimaan hadis Nabi
dalam masalah hukum secara massal sebagai salah satu dasar hukum, sedang
lawan-lawannya dalam aliran hukum menyatakan bahwa dasar hukum yang mereka
pakai adalah sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam tradisi praktis. Mereka
sebenarnya tidak menyangkal hadis Nabi begitu saja, tetapi menurutnya
ajaran-ajaran Nabi harus dicari dalam praktik masyarakat muslim Madinah.
Praktik yang diberlakukan oleh masyarakat muslim Madinah lebih mencerminkan
warisan Nabi daripada hadis-hadis yang samar yang dinyatakan bersumber dari
otoritas Nabi tapi tidak mempunyai dasar dalam praktik masyarakat. Lawan-lawan
al-Shafi‘i selanjutnya mengklaim bahwa para sahabat dan tabi‘in merupakan
generasi yang paling mengetahui dan satu-satunya pengemban sunnah Nabi yang
terpercaya.[40]
Dalam pandangan Rahman, program al-Shafi‘i
memperjuangkan penerimaan hadis secara besar-besaran secara tidak langsung
telah menyerang doktrin ijma‘ ahli hukum Madinah, lalu ia membatasinya pada
praktik dan kewajiban-kewajiban pokok agama. Dengan tindakannya itu, maka jika
ijma‘ sudah tidak efektif kecuali pada pokok-pokok kewajiban agama yang secara
esensial telah tercakup dalam hadis, maka ia mengisi seluruh kekosongan yang
ditinggalkan ijma‘ dengan hadis. Hasil akhir dari evolusi sunnah adalah
terlepasnya qiyas, ijtihad atau unsur penalaran lain dari posisi sebagain
penengah antara al-Qur’an dan sunnah di satu pihak dan antara sunnah dengan
ijtihad pada pihak lain.[41]
Dalam pandangan Rahman, kuatnya gerakan hadis
merupakan kesuksesan al-Shafi‘i yang mengampanyekan hadis sebagai pengganti
“sunnah yang hidup.” Pada pertengahan abad ke-3 H, hadis telah mempunyai bentuk
yang pasti dan “sunnah yang hidup” telah tenggelam ke dalam materi-materi
hadis. Menurut Rahman, materi-materi hadis sangat mencerminkan pertumbuhan dan
pertentangan berbagai opini keagamaan kaum muslim pada dua abad pertama Islam,
meskipun materi-materi tersebut memiliki sentuhan historis dengan sunnah ideal
Nabi. Pada masa ini hadis-hadis dihimpun dan disaring.[42] Menurut
Rahman, pada pertengahan abad ke-2 H, gerakan hadis memperoleh kemajuan pesat,
meskipun hampir seluruh hadis dinyatakan tidak bersumber dari Nabi, tetapi dari
para sahabat dan generasi muslim sesudahnya. Rahman menegaskan, dalam masa ini
dan selama abad ke-3 H, pandangan-pandangan kaum muslim masa lalu mulai
diproyeksikan kepada Nabi. Meskipun demikian, Rahman menemukan bahwa pada waktu
yang sama hadis-hadis masih ditafsirkan secara bebas.[43]
Hasil penelitian Rahman tentang evolusi sunnah
diringkas secara jelas dalam kutipan berikut ini:
Kita
temukan bahwa dalam sejarah (Islam) awal, ijtihad dan ijma‘ tidak hanya
berkaitan secara intim antara satu dengan lainnya, tetapi juga berhubungan
dengan sunnah yang bermula dari sunnah Nabi, yang merupakan proses interpretasi
dan elaborasi kreatif yang berlangsung terus-menerus dengan diberi sanksi
ijma‘. Namun proses kreatif ini terhenti, menciut secara perlahan hingga macet,
ketika “sunnah yang hidup” tersebut mulai ditempa ke dalam bentuk hadis dan
dinisbatkan kepada Nabi. Dalam proses ini, perbedaan pendapat internal mengenai
masalah-masalah legal, moral, dan politik memainkan peran yang menentukan. Proses
tersebut, yang mungkin bermula disekitar pengujung abad pertama dan kedua
Hijriah, memperoleh momentum yang dahsyat selama abad kedua dan membuahkan
hasilnya pada abad ketiga Hijriah. Dengan hebatnya kekuatan gerakan ini
sehingga mazhab-mazhab hukum yang mendasarkan pandangannya pada pemikiran bebas
harus menerima pendapat al-Shafi‘i bahwa sebuah hadis, meskipun terisolasi
hanya didukung oleh satu mata rantai perawi harus di pandang memiliki otoritas
yang lebih tinggi dari opini pribadi dan bahkan praktik (kaum muslim) atau
ijma‘. Setelah semua pendapat tentang masalah-masalah politik, moral, dan hukum
diproyeksikan kembali kepada Nabi, terjadilah peperangan ide di dalam Islam
yang akhirnya diredakan oleh usaha-usaha ahl al-hadith yang sepanjang abad ketiga
Hijriah mengumpulkan hadis-hadis yang mencerminkan pendapat mayoritas dan
dengan demikian dapat dipandang mengekspresikan spirit ajaran kenabian.[44]
Rahman mengakui adanya hubungan yang erat antara
sunnah dan hadis, sekalipun antara keduanya terpisah oleh jarak waktu yang
cukup lama. Menurutnya, benang merah yang menghubungkan antara keduanya adalah
sunnah generasi awal atau “sunnah yang hidup.” Sunnah generasi awal tersebut
merupakan aktivitas ijtihad mereka terhadap teladan Nabi dan pada gilirannya “sunnah
yang hidup” tersebut diformalisir menjadi hadis.[45]
Meskipun hadis merupakan transmisi verbal dari sunnah, namun Rahman
menyampaikan perbedaan-perbedaan yang menonjol antara “sunnah yang hidup” pada
generasi awal dan formulasi hadis. Menurutnya, “sunnah yang hidup” merupakan
proses yang hidup dan berkelanjutan, sedang hadis bersifat formal dan berusaha
menegakkan kepermanenan yang mutlak dari sintesis “sunnah yang hidup” yang
berlangsung sampai abad ketiga H.[46]
Dalam hal ini, Rahman menjelaskan bahwa upaya formalisasi “sunnah yang hidup”
menjadi hadis sangat diperlukan pada saat itu. Proses keberlanjutan yang tidak
disertai upaya formalisasi, pada waktu-waktu tertentu akan memutuskan
kesinambungan proses itu sendiri sehingga menghancurkan identitasnya.
Hanya saja, yang dihasilkan oleh hadis ternyata
bukan hanya formalisasi tertentu, tetapi ketetapan yang bersifat mutlak. Untuk
itu, Rahman menyarankan agar dilakukan pengendoran formalisme dan melakukan
langkah baru sebagaimana sunnah terdahulu tercerah secara sukarela ke dalam
hadis. Dalam hal ini, Rahman berusaha membangun kembali hubungan interaksi
antara ijtihad sahabat generasi awal dengan sunnah Nabi yang melahirkan “sunnah
yang hidup.” Dengan mengendorkan formalisme sunnah atau hadis-hadis amaliah,
maka setiap generasi berkesempatan menghidupkan sunnah Nabi sesuai dengan
zamannya sebagaimana yang diperankan oleh generasi awal kaum muslim.[47]
Dari paparan di atas, Rahman menegaskan bahwa hadis
Nabi eksis sejak awal perkembangan Islam. Jika sahabat membicarakan hal yang
dilakukan, khususnya masalah yang berkaitan dengan masyarakat adalah wajar dan
logis. Menurut Rahman, pada masa Nabi, hadis hanya digunakan dalam hal yang
informal. Perannya hanya terbatas pada pemberian bimbingan dan praktik aktual
umat Islam. Setelah Nabi wafat, hadis memiliki status yang semi informal. Pada
saat itu, tidak ada bukti bahwa hadis telah dihimpun. Menurut Rahman,
eksistensi hadis sebagai sesuatu yang menciptakan dan dapat dikembangkan
menjadi praktik umat Islam. Oleh karena itu, hadis ditafsirkan secara bebas
melalui instrumen ijtihad yang pada gilirannya mengkristal ke dalam bentuk
sunnah umat Islam.[48]
Kesimpulan Rahman dari analisis proses evolusi
sunnah Nabi menjadi “sunnah yang hidup” dan kemudian diformalisir menjadi hadis
adalah bahwa sebagian besar dari hadis tidak lain merupakan sunnah hasil
ijtihad generasi pertama kaum muslim. Sunnah tersebut berasal dari ide
individu, tetapi setelah lama berinteraksi akhirnya menjadi praktik yang
disepakati di kalangan mereka. Dengan kata lain, “sunnah yang hidup” di masa
awal tersebut terlihat sebagai hadis dengan disertakan rangkaian perawi.[49]
Meskipun meragukan sebagian besar untuk tidak
mengatakan keseluruhan hadis teknis, namun Rahman menerimanya sebagai prinsip,
yakni bahwa hadis-hadis tersebut harus dipandang sebagai indeks kepada sunnah
Nabi, karena ia jelas sekali tidak terpisah dari sunnah tersebut, bahkan
bermula darinya. Dengan demikian, sunnah kaum muslim awal merupakan
kristalisasi interpretasi kreatif terhadap sunnah Nabi, sedang hadis-hadis
tidak lain dari refleksi verbal sunnah yang hidup. Dengan demikian, sunnah Nabi
eksis dalam hadis sebagaimana halnya “sunnah yang hidup.” Dengan menggunakan
pemahaman terhadap evolusi hadis dan sunnah semacam ini sebagai basisnya, Rahman
menegaskan bahwa kebutuhan kaum muslim dewasa ini adalah menuangkan kembali
atau mencairkan hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup melalui studi
historis terhadapnya.[50]
Penafsiran situasional itu akan menjelaskan bahwa
beberapa doktrin pokok ortodoksi dimodifikasi dan ditegaskan kembali. Sunnah
yang berbicara determinisme dan karsa bebas manusia yang tercermin dalam hadis
perlu ditarik dalam makna historis.
Dengan demikian, fungsi hadis selalu tercermin dalam
berbagai konteks. Penafsiran situasional yang sama, juga harus dilakukan
terhadap hadis-hadis hukum. Hadis-hadis ini harus dipandang sebagai satu
masalah yang harus ditinjau kembali, bukan sebagai hukum yang sudah jadi (ready made law) yang harus diterapkan
secara langsung. Penafsiran situasional atau historis dalam rangka mencairkan
hadis-hadis ke dalam bentuk “sunnah yang hidup” ini akan membuat kita dapat
menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk diri kita sendiri melalui suatu teori
etika yang memadai dan penubuhan kembali hukumnya.[51]
Berdasarkan analisis konsep dan data historis di
atas, Rahman menyimpulkan sifat otoritas sunnah Nabi sebagai konsep pemayung
yang bersifat umum (a general umbrella
concept) daripada sebuah kandungan khusus yang harus dipegangi apa adanya.
Dengan demikian, Rahman mengelaborasi analisis historisnya untuk merumuskan
konsep sifat otoritas sunnah agar kondusif terhadap upaya pembaruan hukum.
Konsep ini sejalan
dengan teorinya tentang legal spesifik al-Qur’an yang harus
dikembangkan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika dikaitkan dengan ketetapan
legal spesifik al-Qur’an, kedudukan sunnah merupakan model aplikasi, sedang
legal spesifik al-Qur’an merupakan penjabaran dari prinsip umum al-Qur’an. Jika
al-Qur’an dapat ditafsirkan dalam konteks yang baru, sunnah tentu lebih bisa
ditafsirkan. Jika al-Qur’an pantas ditafsirkan pada prinsip umum al-Qur’an, maka
sunnah tentu lebih pantas.[52]
Sifat otoritas sunnah yang dikembangkan Rahman
secara teoritis dan historis belum dikembangkan mayoritas ahli fiqih. Yang ada
barulah konsep tentang otoritas sunnah Nabi sebagai bayan al-Qur’an (otoritas
intra Qur’ani) dan sebagai tashri‘ (otoritas ekstra Qur’ani). Semua bentuk
bayan merupakan otoritas Nabi yang bersifat intra Qur’ani. Adapaun otoritas
sunnah sebagai tashri‘, yakni sebagai penetap hukum yang bersifat independen
dalam kasus-kasus yang al-Qur’an tidak menetapkan hukumnya, merupakan otoritas
Nabi yang bersifat ekstra Qur’ani. Karena itu, kedudukan konsep Rahman mengenai
sifat otoritas sunnah Nabi, minimal dapat dikatakan tidak bertentangan dengan
konsep otoritas yang telah ada sebelumnya, karena masing-masing memilki konteks
yang berbeda. Konsep otoritas sunnah sebagai bayan al-Qur’an dan sebagai
tashri‘ dirumuskan dalam konteks istinbat al-hukm dengan latar belakang kemapanan
sosial masyarakat muslim saat itu, sedang konsep Rahman mengenai sifat otoritas
sunnah Nabi sebagai pemayung yang bersifat luwes dirumuskan dalam konteks
tatbiq al-hukm dengan latar belakang situasional masyarakat modern abad ke-20.
Selain itu, konsep yang pertama mengenai otoritas an sich, sedang yang kedua
berbicara mengenai sifat otoritas, karena itu konsep Rahman dapat dipandang
sebagai pengembangan konsep otoritas yang telah ada semenjak periode klasik.[53]
Uraian-uraian yang dikemukakan memperlihatkan bahwa
Rahman selain mengkonfirmasi temuan kesarjanaan Barat kontemporer, juga memberi
substansi yang baru terhadapnya. Penemuan Rahman bahwa konsep sunnah Nabi
merupakan konsep yang valid (sahih) dan operatif sejak sebermula Islam. Sunnah
atau ijma‘ kaum muslim awal berhubungan erat dengan sunnah Nabi. Interpretasi
kreatif yang dilakukan oleh Rahman, telah membuat teorinya memiliki substansi
yang berbeda dengan teori kesarjanaan Barat, meskipun bentuknya tidak dapat
dikatakan tidak berbeda jauh. Skeptisisme Rahman terhadap historisitas
koleksi-koleksi hadis (yakni hadis teknis) memang tidak berbeda dengan
skeptisisme para sarjana Barat. Bahkan dalam kenyataannya, skeptisisme tersebut
juga senada dengan Parwez. Skeptisisme semacam ini dapat dirujukkan sumbernya
dalam tradisi modernisme klasik di anak benua Indo-Pakistan yang diinagurasi
oleh Sir Sayyid beserta gerakan Aligarhnya.
Namun harus dicatat bahwa terdapat perbedaan
mendasar antara gagasan Rahman dengan skeptisisme hadis modernisme klasik,
karena ia memandang bahwa koleksi hadis merupakan cetakan dari sunnah kaum
muslim awal yang secara organis terkait dengan sunnah ideal Nabi yang dipandang
sebagai indeks kepada sunnah Nabi.[54]
Berpijak pada pemahaman di atas, Rahman menegaskan
kembali normativitas konsep Nabi yang berada satu posisi dengan kaum muslim
pada umumnya, dan dalam taraf tertentu dengan Sir Sayyid yang juga menegaskan
bahwa apabila suatu hadis telah terbukti kavaliditasannya secara
historis, maka sunnah yang dikandungnya normatif bagi kaum muslim.
Tetapi pemahaman Rahman yang dinamis terhadap sunnah Nabi sebagai suatu konsep pengayom yang harus
selalu ditafsirkan secara situasional ke dalam bentuk “sunnah yang hidup,”
memperlihatkan perbedaan yang tajam baik dengan Sir Sayyid atau kalangan
modernis maupun kaum muslim pada umumnya.
Kerangka teoritis secara historis yang dikembangkan
Rahman tersebut merupakan sumbangan ilmiah yang sangat besar. Di era modern,
multi penafsiran dan ilmu terhadap berbagai kajian sangat diperlukan. Dalam
konteks ini, Rahman menyodorkan konsep baru tentang sunnah sebagai payung dan
tidak berlaku secara spesifik mengantarkan umat Islam pada pemahaman terhadap
realitas masyarakat. Ketetapan yang tertuang dalam sunnah dapat disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Dengan demikian, ketetapan itu tidak bersifat
teologis normatif tetapi bersifat sosiologis historis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa formulasi di atas dapat ditarik dua
kesimpulan sebagai berikut: Pertama, menurut Rahman, sunnah berevolusi secara historis
dan merupakan konsep yang valid, tidak sebagaimana yang dituduhkan para
orientalis. Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua tidak sebagaimana
tokoh modernis Islam seperti Sir Sayyid dan Parwez. Meskipun demikian, sunnah
tidak sebagaimana penilaian tokoh tradisionalis dan fundamentalis yang menilai sunnah
sebagai konsep dogmatik, yaitu hadis-hadis teknis yang di rujukkan kepada Nabi.
Kedua, menurut Rahman,
sunnah merupakan praktik
yang hidup, bukan sebagai praktik yang normatif. Selain itu, ia merupakan
konsep pemayung yang bersifat umum, bukan kandungan khusus yang harus dipegangi
apa adanya. Oleh karena itu, sunnah dapat ditafsirkan dengan instrumen ijtihad
sesuai situasi dan kondisi. sedangkan hadis bersifat formal dan berusaha
menegakkan kepermanenan yang mutlak dari sintesis “sunnah yang hidup” yang
berlangsung sampai abad ke 3H.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka penulis sangat
mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baiknya di masa yang
akan datang. Penulis juga menyarankan kepada pembaca, agar membaca buku-buku
yang berkaitan dengan studi hadist. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan
dan perlindungan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian.
[1] Syamsul Anwar, “Paradigma Pemikiran Hadis Modern,” dalam
Wacana Suatu Hadis Kontemporer (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 2002), hal.
157.
[2] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), hal. 8.
[3] Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 1995), hal. 14.
[4] Deoband adalah lembaga
pendidikan Islam di India Utara. Madrasah ini didirikan pada pertengahan abad
ke-19 oleh murid-murid Syekh Waliyullah. Selain Deoband terdapat madrasah lain
seperti Madrasah Ahli Hadis dan Madrasah Barelawy. Kurikulum ketiga madrasah
ini terbatas pada keagamaan murni seperti hadis, tafsir, hadis, fiqh, dan ilmu
tata bahasa Arab.
[5] Ibrahim Musa, “Kata Pengantar,” dalam Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi
tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000), 1. Lihat John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 3 (New
York: Oxford University Press, 1955), hal. 408.
[6] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intelectual Tradition (Chicago: Chicago University Press, 1982), hal. 121.
[7] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaruan Hukum Islam (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo, 1997), hal. 19
[8] Ibid,. hal. 20
[9] Musa, “Kata Pengantar,” dalam
Rahman, Gelombang, hal. 2.
[10] Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy
(London: George Allen & Unwin, 1958), hal. 7.
[11] Musa, “Kata Pengantar,” dalam
Rahman, Gelombang, hal. 4.
[12] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, diterjemahkan
dari Islamic Methodology in History
oleh Anas Mahyuddin, (Bandung, Pustaka: 1995), hal. 6
[13] Ignaz Goldzuher, Muhammadanische, Jilid 2 (Halle
University Press, 1961), 5.Ini dikutip oleh Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman,
hal. 128.
[16] Ibid..
[17] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 163
[18] Snouck Hurgronje, Selected Works (Leiden: E.J. Brill,
1957), hal. 7.
[19] Fazlur Rahman, Islam (Chicago
& London: University of Chicago Press, 1979), hal. 45.
[20] Joseph Schacht, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University Press, 1979), 2-3. Dalam
artikel Sahid HM "Sejarah Evolusi
Sunnah:Studi Pemikiran Fazlur Rahman" Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel. hal. 8
[21] Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Early Hadith Literature
(Indiana polis:American Trust Publication, 1968), xvii. Lihat Khayr al-Din
al-Zirikli, al-A‘lam, Juz 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1980), hal. 10.
[22] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi:
Central Institute of Islamic Research, 1965), hal. 5.
[25] Fazlur Rahman, “Islam: An Overview,” dalam The
Encyclopedia of Religion,(ed.) Mircea Eliade, Vol. 7 (New York: Mac Millan
Publiching Co., 1987), hal. 309.
[28] Rahman, Islamic Methodology, hal. 7.
[30] Ibid., hal. 13
[31] Ibid., 14. Mas’adi, Pemikiran
Fazlur Rahman, hal. 136-137.
[32] Ibid., hal. 7-8.
[33] Rahman, Islam,. hal. 50
[35] Ibid., ..
[36] Amal, Islam, hal. 168.
[37] Rahman, Islamic Methodology, hal. 19.
[38] Ibid., hal. 20-24.
[39] Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 16.
[40] Mas’adi, Pemikiran, hal. 90-92.
[41] Rahman, Islam, hal. 76.
[43] Rahman, Islamic Methodology, hal. 33-35.
[45] Ibid., hal. 74.
[46] Ibid., hal. 75.
[47] Mas’adi, Pemikiran, hal. 95-96.
[48] Rahman, Islamic Methodology, hal. 31-32.
[51] Rahman, Islamic Methodology, hal. 78-80.
[54] Amal, Islam, hal. 175.
Komentar
Posting Komentar