FAZLUR RAHMAN: PEMIKIRAN TENTANG HADIS DAN SUNNAH

FAZLUR RAHMAN: PEMIKIRAN TENTANG HADIS DAN SUNNAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas  Mata Kuliah Studi Hadist

Dosen Pengampu:
Dr. H. Muhtadi Ridwan, M.Ag.

 

Oleh:

Husaen Sudrajat
NIM: 15761011


PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
                                                                  2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam bangunan dan sumber keilmuan Islam, hadis atau sunnah menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Sunnah adalah fondasi yang sangat pokok. Sebagai sentral acuan umat Islam, logis dan wajar jika sunnah diapresiasi oleh umat Islam melebihi yang lain. Sunnah merupakan sumber inspirasi dan ajaran umat Islam. Dengan demikian, aspek kesejarahan sunnah perlu diangkat ke permukaan. Hadis yang merupakan refleksi dari sunnah adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam. Hadis yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah memutuskan perkara berdasarkan satu saksi dan satu sumpah adalah sebuah penyataan singular mengenai satu peristiwa, yaitu peristiwa pemutusan perkara dengan satu saksi dan satu sumpah. Dengan demikian, setiap hadis adalah suatu pernyataan singular di sekitar Rasulullah Saw.[1]
Secara historis, pada mulanya hadis hanya disandarkan kepada Nabi. Sepeninggal Nabi, apa yang datang dari sahabat dimasukkan sebagai hadis. Pada perkembangan berikutnya, fatwa yang dikeluarkan tabi‘in juga disebut hadis. Dalam ilmu hadis, hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, dan tabi‘in kualifikasinya berbeda. Dalam pemilahan ini, hadis yang bersumber dari Rasulullah disebut hadis marfu‘, yang bersumber dari sahabat disebut hadis mawquf, dan yang bersumber dari tabi‘in disebut hadis maqtu‘.[2] Historisitas sunnah secara evolutif dengan kajian yang menekankan pada otentisitas hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak abad pertama Hijriah sampai abad ketigabelas Hijriah tidak mengalami problem. Pada tahun 1980 M, dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru dalam kritik hadis. Kajian akadamis yang menolak persyaratan-persyaratan atau criteria ontentisitas hadis muncul baik dari kalangan non-muslim maupun muslim.[3] Kemunculan metode baru ini terjadi pro dan kontra di kalangan intelektual.
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir Islam (insider) dan para orientalis (outsider) adalah dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-Pakistan merupakan representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji sunnah dalam konteks evolusi historistas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan tokoh non-muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan muslim yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang skeptis terhadap sunnah dan hadis. Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri dan para orientalis. Dalam studi ini, penulis berupaya membahas pemikiran Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pada makalah ini, diantaranya:
1.      Bagaiman Bentuk Biografi Fazlur Rahman ?
2.      Bagaimana Pemikiran Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah ?



C.     Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu:
1.      Memahami Bentuk Biografi Fazlur Rahman
2.      Memahami Pemikiran Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1991 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian Pakistan. Ia wafat pada tanggal 26 Juli 1988 di Chicago, Illionis. Ayahnya bernama Maulana Shihabuddin, alumnus Dar al-‘Ulum Deoband.[4] Di Deoband Shihabuddin belajar dengan beberapa tokoh terkemuka, di antaranya Maulana Mahmud Hasan (w. 1920) dan Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (w.1905). Meskipun Rahman tidak belajar di Dar al-‘Ulum, ia menguasai kurikulum Darse-Nizami yang ditawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisional dengan perhatian khusus pada fiqh, ilmu kalam, hadis, tafsir, mantiq, dan filsafat. Setelah itu ia melanjutkan studi ke Punjab University di Lahore. Ia lulus dengan penghargaan dalam bidang Bahasa Arab dan di sana mendapatkan gelar M.A.[5]
Pada tahun 1946, ia memutuskan untuk melanjutkan studi ke Oxford University. Keputusan ini merupakan awal sikap kontroversial Rahman. Ia dianggap ganjil oleh ulama Pakistan jika seorang muslim belajar Islam di Barat. Lebih dari itu, sikap yang cenderung ke Barat dinilai negatif meskipun langkah yang ditempuh untuk kebaikan dan kemajuan umat Islam. Menurut Rahman, kondisi objektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan intelektual yang solid dan baik.[6] Secara kelembagaan, pendidikan Islam tingkat tinggi di Pakistan belum memenuhi standar akademik. Kapasitas guru besar dengan tradisi penelitian masih di bawah standar jika dibandingkan dengan Barat. Kondisi ini berpengaruh pada Rahman yang pada akhirnya ia tetap melanjutkan studi ke Barat. Kondisi di atas berbeda dengan di Barat. Wacana ilmiah yang rasionalistik  berkembang  dengan  pesat.  Suburnya  pemikiran  dibidang kajian ilmiah tidak hanya dalam bidang sains, tetapi juga filsafat  dan  keislaman.  Ignaz  Goldzhiher,  Joseph  Schacht,  H.R. Ghibb, N.J. Coulson, dan J.N.D. Anderson adalah contoh konkret. Mereka dicetak di Barat dengan kemampuan akademik dalam bidang  pemikiran  filsafat  dan  keislaman.  Kemajuan  yang  dicapai Barat itu adalah pilar penting bagi Rahman untuk melanjutkan kesana.
Selama di Ingris Rahman giat mempelajari beberapa bahasa Barat, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Ingris, Perancis, dan Jerman. Penguasaan Rahman terhadap bahasa-bahasa itu membantu upayanya dalam memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studinya terhadap literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis.[7] Dengan penguasaan tersebut, Rahman berani mengkritisi karya-karya orientalis dalam kajian pemikiran Islam, khususnya dalam kajian hadis dan sunnah.
Pada tahun 1950, Rahman menyelesaikan studi doktornya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibn Sina di bawah pengawasan Simon van Den Bergh. Selama itu ia juga merampungkan penerjemahan karya Ibn Sina, Kitab al-Najah untuk diterbitkan di Oxford University Press dengan judul Avesina psychology. Kitab al-Najah itu merupakan ringkasan Ibnu Sina dari Kitab al-Shifa’, karya Ibnu Sina yang terbesar. Belakangan ia juga menyunting Kitab al-Nafs karya Ibnu Sina yang lain yang juga bagian  dari  Kitab  al-Shifa’.[8]  Kemampuan  Rahman  mengelaborasi pemikiran Ibn Sina mengangkat karirnya sebagai tokoh yang ahli dalam bidang ketimuran. Ia dinilai sebagai pakar yang ahli dalam bidang pemikiran Ibn Sina.
Setelah di Oxford, ia mengajar Bahasa Persi dan Filsafat Islam di Durham University dari tahun 1950-1958. Ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di Institute of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal.[9] Ketika di Durham University, ia merampungkan karya orisinalnya Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy. Buku ini diterbitkan pada tahun 1958. Penulisan karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama itu sarjana-sarjana modern yang mengkaji pemikiran  keislaman  kurang  menaruh  perhatian  terhadap  masalah doktrin kenabian. Buku ini merupakan titik sentral yang sama-sama dihadapi oleh arus pemikiran Islam tradisional dan helenis. Dalam karya ini, Rahman mengulas sumber-sumber helenis dari doktrin filosofis dalam berbagai aspek.[10] Setelah menjadi profesor tamu di University of California Los Angeles pada tahun 1969, ia dikukuhkan sebagai guru besar pemikiran Islam di University of Chicago di musim gugur 1969. Pada tahun 1986 ia dianugerahi Harold H. Swift Distinguished Service Professor di Chicago. Penghargaan ini disandangnya sampai ia meninggal pada tahun 1988.[11]
B.     Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Hadis dan Sunnah
1.      Kegelisahan akademik Fazlur Rahman Terhadap Studi Orientalis Dan Ulama Tentang Sunnah dan Hadits
Fazlur Rahman berpendapat bahwa sunnah adalah sebuah konsep perilaku baik yang diterapkan dalam aksi-aksi laku atupun mental. Dengan kata lain, sunnah merupakan sebuah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali atau berulangkali. Kemudian karena karena sesungguhnya tingkah laku yang  imaksud adalah tingkah laku dengan kesadaran, maka sebuah sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum ingkah laku, tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang nornatif. Keharusan moral adalah sebuah unsur yang tak dapat dipisahkan dari pengertian konsep sunnah. Dalam menjelaskan sunnah, Rahman memberikan contoh arti sunnah dengan mengutip pendapat Ibn Durayd dengan arti shawwara  atau membuat sesuatu menjadi lebih teladan.[12]
Fazlur Rahman berpandangan bahwa hadis dan sunnah secara realistis berevolusi secara historis. Pendekatan Rahman ini merupakan respons terhadap para orientalis ketika ia berada di Barat dan respons  terhadap  ulama  Islam  tradisonal  dan  fundamental  yang menghujatnya sewaktu ia berada di Pakistan; juga sebagai respons terhadap tokoh Islam modernis.
Menurut Ignaz Goldziher, hampir tidak mungkin ada keyakinan untuk menyaring banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu hadis yang dapat dipastikan berasal dari Rasulullah dan para sahabat awal. Karena itu, hadis harus dianggap sebagai catatan atau pandangan dari generasi muslim awal daripada sebagai catatan kehidupan dan ajaran Nabi dan sahabat-sahabatnya.[13] Namun ia mengakui adanya sunnah bagi umat Islam yang diartikannya sebagai norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang diwartakan.[14] Dengan demikian, ia mendefinisikan sunnah sebagai praktik yang hidup.[15] Perbedaan antara hadis dan sunnah adalah bahwa hadis merupakan laporan-laporan teoritis, sedang sunnah merupakan laporan-laporan yang memperoleh kualitas normative dan telah menjadi prinsip praktis bagi generasi muslim.[16] Artinya, sebagian besar materi hadis lebih merupakan hasil perkembangan religius, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama. Konsekuensi logisnya, Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi Muhammad sendiri. Sementara tentang sunnah, ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra Islam dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam berakhir.[17]
Selain Goldziher terdapat Snouck Hurgronje. Dalam penelitiannya terhadap evolusi hadis, dia berpandangan bahwa sunnah yang terdapat dalam berbagai hadis merupakan postulat dogmatis umat Islam. Keyakinan para pemimpin Islam pada dua atau tiga abad pertana Islam bahwa setiap aturan yang diikuti oleh masyarakat Islam harus didasarkan pada sunnah. Dengan demikian, para ulama pada periode awal menambah pandangan dalam setiap masalah yang dianggap penting bagi masyarakat dalam bentuk hadis.[18]
Demikian juga Margoliouth, menurutnya Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah. Sunnah yang dipraktikkan umat Islam awal bukan merupakan sunnah Nabi tetapi kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an. Menurutnya, untuk  memberikan  otoritas  dan  normativitas  terhadap  kebiasaan-kebiasaan tersebut, umat Islam pada abad kedua Hijriah telah mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.[19]
Tokoh orientalis yang lain adalah Joseph Schacht. Menurut Schacht, konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan. Al-Shafi‘i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi. Menurutnya, bagi generasi sebelum  al-Shafi‘i,  sunnah  mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan praktik yang disepakati secara umum.[20] Menurutnya, “tradisi yang hidup” mendahului hadis Nabi. Artinya, beredarnya hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tabi‘in, kemudian pada sahabat, dan akhirnya pada Nabi.
Menurut ‘Azami, Ignaz Goldziher adalah orientalis pertama yang melakukan kajian tentang hadis, kemudian disusul orientalis lain seperti Joseph Schacht dan lain-lain. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.[21]
Dari batasan-batasan sunnah yang diberikan para orientalis itu sangat jelas bahwa mereka tidak menghubungkan sunnah kepada Nabi. Pengaitan sunnah dinilai muncul masa belakangan. Dengan demikian, sunnah yang menjadi pegangan umat Islam selama ini sebagai perbuatan dan perkataan Nabi tidak pernah ada. Di tengah kegelisahannya,  kemudian  Rahman  menjelaskan beberapa sebab penolakan sarjana Barat terhadap hadis. Menurut Rahman, mereka menemukan diantaranya :
1.      bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakan tindak lanjut dari kebiasaan dan adat istiadat pra Islam;
2.      bahwa sebagian besar kandungan sunnah merupakan hasil aktivitas pemikiran bebas ahli hukum Islam awal yang, dengan ijtihad, telah membuat beberapa deduksi dari sunnah dan menambahkan elemen-elemen baru, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan praktik pemerintahan Bizantium serta Persia; dan
3.      ketika hadis berkembang menjadi gerakan yang besar dan menjadi fenomena massif pada akhir abad kedua, khususnya abad ketiga H, seluruh kandungan sunnnah yang awal dihubungkan secara verbal kepada Nabi di bawah lindungan konsep sunnah.[22]
Selain tokoh orientalis, di kalangan ulama terjadi skeptisisme terhadap hadis. Tendensi skeptisisme hadis di anak benua Indo-Pakistan bermula dari Sir Sayyid dan koleganya di abad ke-19. Skeptisisme Sir Sayyid mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kalangan modernis di anak benua tersebut. Parwez tampaknya mengelaborasi lebih jauh skeptisisme Sir Sayyid untuk memberi definisi tentang “Islam” bagi Pakistan yang semata-mata bertumpu pada al-Qur’an. Bagi Parwez, hadis tidak dipandang sebagai sumber kedua Islam. Dengan mengembangkan metode kritik matn Sir Sayyid, ia sampai pada kesimpulan yang ekstrem bahwa hadis banyak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal, terlalu antropromorfis, bahkan secara moral memalukan. Oleh karena itu, hadis tidak dipandang sebagai bersumber dari Nabi. Parwez dan kelompoknya, lewat beberapa penerbitan dalam jurnal mereka, Tulu‘ al-Islam, juga beranggapan bahwa walaupun sebuah hadis terbukti secara historis, namun hadis itu tidak normatif bagi umat Islam dewasa ini. Nabi dalam pernyataan dan tindakan ekstra Qur’aninya tidak luput dari kekeliruan.
Dalam beberapa hal, Nabi hanya menafsirkan al-Qur’an pada masanya. Pandangan Parwez semacam ini mempengaruhi perumusan artikel “Islam” dalam Konstitusi 1962. Karena gagasannya tersebut, ia mendapat fatwa takfir dari kalangan ulama.[23]

2.      Respons Fazlur Rahman Terhadap Validitas Sunnah
Pemikiran  para  orientalis  tentang  teori  evolusi  direspons  oleh Rahman. Dalam kajiannya, Rahman mengkonfirmasi temuan dan teori para orientalis tentang evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan teori yang dikemukakan bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim belakangan. Menurutnya, konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam pandangan orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan operatif sejak awal Islam dan berlaku sepanjang masa.[24] Secara eksplisit, menurut Rahman, istilah sunnah di dalam al-Qur’an memang tidak ada, tetapi konsep sunnah sejak zaman Nabi telah ada.[25] Dalam pandangan Rahman, di dalam al-Qur’an terdapat beberapa keterangan yang menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai teladan yang baik (uswah hasanah). Oleh karena itu, umat Islam sejak awal tetap beranggapan bahwa praktik Nabi sebagai konsep.[26] Rahman mengartikan sunnah sebagai “perilaku teladan” (exemplary conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi ini secara jelas mengisyaratkan bahwa Rahman berupaya meluruskan kekeliruan pemikiran tentang sunnah yang dimunculkan para orientalis.
Untuk memperkuat gagasan, Rahman mengajukan sistem periwayatan. Menurutnya, periwayatan hadis telah ada sejak zaman Rasulullah. Untuk membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Hasan al-Basri yang ditujukan kepada ‘Abd al-Malik bin Marwan. Dalam sebuah riwayat, ‘Abd al-Malik minta penjelasan kepada al-Basri tentang kebebasan manusia yang belum pernah ada sebelumnya. Artinya, secara formal dan verbal tentang kebebasan manusia belum ada. ‘Abd al-Malik tidak mengetahui sahabat yang mempunyai pandangan semacam itu. Dia minta agar ditunjukkan riwayat hadis yang mengakui kebebasan manusia. Dalam jawabannya melalui surat, al-Basri menjelaskan bahwa para pendahulu tidak ada yang menolak tentang kebabasan manusia dan di antara mereka tidak ada yang berbeda pendapat.[27]
Hal yang penting dari seorang khalifah, menurut Rahman, adalah bahwa ia meminta beberapa alternatif dasar yang dipakai al-Basri untuk mendukung kebenaran pendapatnya, di antaranya adalah  riwayat  hadis  dari  salah  seorang  sahabat  Nabi.  Hal  ini menunjukkan bahwa sebelum masa itu telah berkembang tradisi periwayatan, sekaligus menunjukkan otoritatifnya generasi sahabat dalam hal periwayatan. Jawaban al-Basri tentang sunnah Nabi yang berkaitan dengan kebebasan manusia, meskipun tidak menyebutkan periwayatan yang bersumber dari Nabi, memberi sinyalemen adanya sunnah. Hal ini bukan berarti tidak ada sebuah riwayat yang menjadi dasar bagi al-Basri, tetapi ia bermaksud menekankan teologi bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang baru.[28]
Selain itu, surat al-Basri merupakan petunjuk arah, bukan serangkaian aturan yang ditetapkan secara pasti. Pengertian sunnah semacam ini merupakan dasar pemikiran umat Islam awal.[29] Dengan demikian, doktrin determinasi secara implisit bertentangan dengan ajaran sunnah Nabi dan “sunnah ideal” secara realistis telah berkembang pada masa kaum muslim awal.
Untuk memperkuat hal tersebut, Rahman juga mengutip kebiasaan Imam Malik dalam al-Muwatta’ yang biasanya mengutip terlebih  dahulu  riwayat  hadis  dalam  menjawab  setiap  masalah yang dihadapi, kemudian menyampaikan pernyataan seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita adalah...,”kadang-kadang  ia  menggunakan  istilah  “sunnah  yang  kita  akui adalah....” Imam Malik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak Shuf‘ah kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Malik menyatakan “dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.” Lantas kepada Sa‘id bin Musayyab, ahli hukum yang populer di Madinah, Malik bertanya kepadanya: “Adakah  sunnah  mengenai  shuf‘ah,”  ia  menjawab:  “ya,  tetapi shuf‘ah hanya berlaku atas rumah dan tanah.[30] Dalam pernyataan pertama, menurut Rahman, sunnah berarti praktik yang dilakukan oleh kaum muslim Madinah, dan pengertian seperti ini tidak cocok dalam pernyataan yang kedua, karena untuk suatu praktik yang telah disepakati tidak mungkin dipertanyakan “adalah sunnah mengenai hal ini.” Untuk itu, pernyataan kedua tersebut harus suatu preseden yang normatif, bisa berupa sunnah Nabi dan bisa berupa sunnah sahabat yang bersumber dari Sunnah Nabi.[31]
Selain data periwayatan, Rahman menyampaikan data historis yang berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi yang hidup antara akhir abad pertama sampai awal abad kedua H. Di dalam syair terdapat terdapat “sunah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Bunyi syairnya sebagai berikut:
Berdasarkan kitab apa atau sunnah manakah yang engkau memandang cintaku kepada mereka sebagai kebaikan.[32]
Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk kepada kitab al-Kharaj. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa ‘Umar bin Khattab pernah mengirimkan beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah. Dalam informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa al-Qur’an tidak dapat diajarkan tanpa mempertimbangkan aktivitas Rasulullah. Aktivitas Rasul mencakup bidang politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. Dengan demikian, al-Qur’an dan sunnah terdapat pertalian yang utuh.[33]

3.      Konsep Fazlur Rahman Tentang Sunnah Sebagai Praktik Yang Hidup
Dalam  studi  historis,  Rahman  mampu  menunjukkan  eksistensi sunnah. Ia sukses mengelaborasi realitas sunnah sebagai konsepsi yang datang dari Nabi. Meskipun demikian, sunnah Nabi merupakan konsep pengayom dan tidak memiliki kandungan spesifik yang bersifat mutlak. Sunnah dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Menurut Rahman, Nabi pada dasarnya merupakan pembaru moral manusia. Hingga akhir hayatnya, Nabi sibuk dengan perjuangan moral menentang orang-orang Mekah Arab. Dia hampir tidak punya waktu untuk menetapkan aturan. Meskipun demikian, dalam kasus kasus yang akui Nabi mengeluarkan keputusan dan dalam kasus-kasus tertentu al-Qur’an harus mengintervensi. Kebanyakan kasus semacam itu bersifat ad hoc dan diselesaikan secara informal.[34]
Penyelesaian secara ad hoc dari Nabi tidak dipandang secara kaku oleh generasi muslim awal. Mereka menyempurnakan dan menafsirkan  sunnah  Nabi  secara  kreatif  menjadi  “sunnah  yang hidup” dalam menghadapi realitas. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan ‘Umar bin Khattab dan para pakar hukum muslim awal.[35] Dengan demikian, “sunnah yang hidup” bermula dari “sunnah ideal” yang ditafsirkan melalui ijtihad. Oleh karena itu, “sunnah yang hidup” identik dengan ijma‘ dan merupakan ketentuan yang berproses. Penyelesaian-penyelesaian ad hoc dari Nabi, yang juga merupakan sunnahnya, tidak dipandang secara kaku oleh generasi-generasi muslim awal. Mereka ini, menurut Rahman, menyempurnakan dan menafsirkan sunnah Nabi secara kreatif menjadi “sunnah yang hidup” untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan baru. Pada titik ini Rahman mengkonfirmasi temuan-temuan kesarjanaan Barat bahwa kandungan aktual sunnah kaum muslim awal sebagian besarnya adalah produk ijtihad personal yang telah mengkristal. Hanya saja, ia memberi substansi baru pada temuan-temuan para sarjana Barat yang juga dengan jelas membedakan teori yang diajukannya dari teori-teori Barat dengan menegaskan bahwa sunnah kaum muslim itu berkaitan secara organis dengan preseden otoritatif dari Nabi, karena ia merupakan penafsiran terhadapnya.[36]
Contoh-contoh di atas membawa Rahman pada kesimpulan bahwa “sunnah yang hidup” identik dengan ijma‘ kaum muslim atau praktik yang disepakati, dan bahwa “sunnah yang hidup” merupakan suatu proses yang tengah berlangsung (on going process) karena disertai dengan ijtihad dan ijma‘. Pandangan-pandangan Rahman yang telah diuraikan diringkas dengan jelas dalam kutipan:
1.      bahwa sunnah kaum muslim awal, secara konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan pandangan bahwa praktik kaum muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah Nabi tidak dapat dipegang sama sekali.
2.      bahwa meskipun demikian, kandungan spesifik yang aktual dari sunnah kaum muslim awal ini sebagian besarnya adalah produk kaum muslim sendiri.
3.      bahwa agensi kreatif dari kandungan (sunnah kaum muslim) ini adalah ijtihad personal yang mengkristal ke dalam ijma‘ berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang sebagai suatu hal yang amat spesifik; dan
4.      bahwa konsep sunnah atau sunnah dalam pengertian identik dengan ijma‘. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat secara keseluruhan merasa sangat perlu untuk menciptakan dan menciptakan kembali kandungan sunnah Nabi dan bahwa ijma‘ merupakan jaminan untuk mencapai kebenaran, yakni untuk menjaga kesalahan dari kandungannya yang baru.[37]
Fenomena sunnah-ijma‘ yang merupakan kristalisasi ijtihad tidak menghapus perbedaan pendapat. Ijma‘ atau sunnah kaum muslim awal tidak hanya bersifat regional seperti sunnah-ijma‘ Madinah dan Irak, bahkan lokal. Hal tersebut membuktikan bahwa proses pencapaian ijma‘ melalui perbedaan praktik lokal dan ijtihad yang berbeda serta memunculkan opini publik, meskipun pada waktu yang sama proses pemikiran bebas dan penafsiran tetap berproses. Dengan demikian, pencapaian ijma‘ pada saat itu berjalan secara demokratis. Proses pencapaian ijma‘ yang berjalan secara demokratis itu dihentikan oleh al-Shafi‘i dengan gerakan yang sangat kuat dan menghendaki keseragaman serta menyerukan substitusi hadis untuk proses ijtihad-ijma‘. Dalam konteks ini, Rahman mengkritik al-Shafi‘i yang memberikan peranan sunnah-ijtihad-ijma‘ kepada sunnah Nabi. Menurut Rahman, al-Shafi‘i memahami sunnah secara harfiah dan bersifat mutlak. Penalaran al-Shafi‘i berdampak pada rusaknya hubungan organis di antara sunnah-ijtihad-ijma‘.[38] Penyempitan makna ini tumbuh pada akhir abad kedua Hijriah karena al-Shafi‘i menyalahi istilah yang telah lama berkembang dan mengajak masyarakat menggunakan hadis ahad serta mendahulukan hadis terhadap ketentuan yang berlaku dalam masyarakat. Sejak saat itu, di kalangan ulama pengertian hadis dan sunnah adalah semakna.[39]
Gerakan  hadis  yang  dilancarkan  oleh  al-Shafi‘i dilatarbelakangi oleh tumbuhnya pemikiran bebas pada saat itu yang dalam beberapa hal menghasilkan keputusan hukum yang bertentangan dengan hadis. Arah yang hendak dicapai oleh gerakan hadis al-Shafi‘i adalah menekan tumbuhnya praktik-praktik atau “sunnah yang hidup.” Al-Shafi‘i adalah pembela utama penerimaan hadis Nabi dalam masalah hukum secara massal sebagai salah satu dasar hukum, sedang lawan-lawannya dalam aliran hukum menyatakan bahwa dasar hukum yang mereka pakai adalah sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam tradisi praktis. Mereka sebenarnya tidak menyangkal hadis Nabi begitu saja, tetapi menurutnya ajaran-ajaran Nabi harus dicari dalam praktik masyarakat muslim Madinah. Praktik yang diberlakukan oleh masyarakat muslim Madinah lebih mencerminkan warisan Nabi daripada hadis-hadis yang samar yang dinyatakan bersumber dari otoritas Nabi tapi tidak mempunyai dasar dalam praktik masyarakat. Lawan-lawan al-Shafi‘i selanjutnya mengklaim bahwa para sahabat dan tabi‘in merupakan generasi yang paling mengetahui dan satu-satunya pengemban sunnah Nabi yang terpercaya.[40]
Dalam pandangan Rahman, program al-Shafi‘i memperjuangkan penerimaan hadis secara besar-besaran secara tidak langsung telah menyerang doktrin ijma‘ ahli hukum Madinah, lalu ia membatasinya pada praktik dan kewajiban-kewajiban pokok agama. Dengan tindakannya itu, maka jika ijma‘ sudah tidak efektif kecuali pada pokok-pokok kewajiban agama yang secara esensial telah tercakup dalam hadis, maka ia mengisi seluruh kekosongan yang ditinggalkan ijma‘ dengan hadis. Hasil akhir dari evolusi sunnah adalah terlepasnya qiyas, ijtihad atau unsur penalaran lain dari posisi sebagain penengah antara al-Qur’an dan sunnah di satu pihak dan antara sunnah dengan ijtihad pada pihak lain.[41]
Dalam pandangan Rahman, kuatnya gerakan hadis merupakan kesuksesan al-Shafi‘i yang mengampanyekan hadis sebagai pengganti “sunnah yang hidup.” Pada pertengahan abad ke-3 H, hadis telah mempunyai bentuk yang pasti dan “sunnah yang hidup” telah tenggelam ke dalam materi-materi hadis. Menurut Rahman, materi-materi hadis sangat mencerminkan pertumbuhan dan pertentangan berbagai opini keagamaan kaum muslim pada dua abad pertama Islam, meskipun materi-materi tersebut memiliki sentuhan historis dengan sunnah ideal Nabi. Pada masa ini hadis-hadis dihimpun dan disaring.[42] Menurut Rahman, pada pertengahan abad ke-2 H, gerakan hadis memperoleh kemajuan pesat, meskipun hampir seluruh hadis dinyatakan tidak bersumber dari Nabi, tetapi dari para sahabat dan generasi muslim sesudahnya. Rahman menegaskan, dalam masa ini dan selama abad ke-3 H, pandangan-pandangan kaum muslim masa lalu mulai diproyeksikan kepada Nabi. Meskipun demikian, Rahman menemukan bahwa pada waktu yang sama hadis-hadis masih ditafsirkan secara bebas.[43]
Hasil penelitian Rahman tentang evolusi sunnah diringkas secara jelas dalam kutipan berikut ini:
Kita temukan bahwa dalam sejarah (Islam) awal, ijtihad dan ijma‘ tidak hanya berkaitan secara intim antara satu dengan lainnya, tetapi juga berhubungan dengan sunnah yang bermula dari sunnah Nabi, yang merupakan proses interpretasi dan elaborasi kreatif yang berlangsung terus-menerus dengan diberi sanksi ijma‘. Namun proses kreatif ini terhenti, menciut secara perlahan hingga macet, ketika “sunnah yang hidup” tersebut mulai ditempa ke dalam bentuk hadis dan dinisbatkan kepada Nabi. Dalam proses ini, perbedaan pendapat internal mengenai masalah-masalah legal, moral, dan politik memainkan peran yang menentukan. Proses tersebut, yang mungkin bermula disekitar pengujung abad pertama dan kedua Hijriah, memperoleh momentum yang dahsyat selama abad kedua dan membuahkan hasilnya pada abad ketiga Hijriah. Dengan hebatnya kekuatan gerakan ini sehingga mazhab-mazhab hukum yang mendasarkan pandangannya pada pemikiran bebas harus menerima pendapat al-Shafi‘i bahwa sebuah hadis, meskipun terisolasi hanya didukung oleh satu mata rantai perawi harus di pandang memiliki otoritas yang lebih tinggi dari opini pribadi dan bahkan praktik (kaum muslim) atau ijma‘. Setelah semua pendapat tentang masalah-masalah politik, moral, dan hukum diproyeksikan kembali kepada Nabi, terjadilah peperangan ide di dalam Islam yang akhirnya diredakan oleh usaha-usaha ahl al-hadith yang sepanjang abad ketiga Hijriah mengumpulkan hadis-hadis yang mencerminkan pendapat mayoritas dan dengan demikian dapat dipandang mengekspresikan spirit ajaran kenabian.[44]
Rahman mengakui adanya hubungan yang erat antara sunnah dan hadis, sekalipun antara keduanya terpisah oleh jarak waktu yang cukup lama. Menurutnya, benang merah yang menghubungkan antara keduanya adalah sunnah generasi awal atau “sunnah yang hidup.” Sunnah generasi awal tersebut merupakan aktivitas ijtihad mereka terhadap teladan Nabi dan pada gilirannya “sunnah yang hidup” tersebut diformalisir menjadi hadis.[45] Meskipun hadis merupakan transmisi verbal dari sunnah, namun Rahman menyampaikan perbedaan-perbedaan yang menonjol antara “sunnah yang hidup” pada generasi awal dan formulasi hadis. Menurutnya, “sunnah yang hidup” merupakan proses yang hidup dan berkelanjutan, sedang hadis bersifat formal dan berusaha menegakkan kepermanenan yang mutlak dari sintesis “sunnah yang hidup” yang berlangsung sampai abad ketiga H.[46] Dalam hal ini, Rahman menjelaskan bahwa upaya formalisasi “sunnah yang hidup” menjadi hadis sangat diperlukan pada saat itu. Proses keberlanjutan yang tidak disertai upaya formalisasi, pada waktu-waktu tertentu akan memutuskan kesinambungan proses itu sendiri sehingga menghancurkan identitasnya.
Hanya saja, yang dihasilkan oleh hadis ternyata bukan hanya formalisasi tertentu, tetapi ketetapan yang bersifat mutlak. Untuk itu, Rahman menyarankan agar dilakukan pengendoran formalisme dan melakukan langkah baru sebagaimana sunnah terdahulu tercerah secara sukarela ke dalam hadis. Dalam hal ini, Rahman berusaha membangun kembali hubungan interaksi antara ijtihad sahabat generasi awal dengan sunnah Nabi yang melahirkan “sunnah yang hidup.” Dengan mengendorkan formalisme sunnah atau hadis-hadis amaliah, maka setiap generasi berkesempatan menghidupkan sunnah Nabi sesuai dengan zamannya sebagaimana yang diperankan oleh generasi awal kaum muslim.[47]
Dari paparan di atas, Rahman menegaskan bahwa hadis Nabi eksis sejak awal perkembangan Islam. Jika sahabat membicarakan hal yang dilakukan, khususnya masalah yang berkaitan dengan masyarakat adalah wajar dan logis. Menurut Rahman, pada masa Nabi, hadis hanya digunakan dalam hal yang informal. Perannya hanya terbatas pada pemberian bimbingan dan praktik aktual umat Islam. Setelah Nabi wafat, hadis memiliki status yang semi informal. Pada saat itu, tidak ada bukti bahwa hadis telah dihimpun. Menurut Rahman, eksistensi hadis sebagai sesuatu yang menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi praktik umat Islam. Oleh karena itu, hadis ditafsirkan secara bebas melalui instrumen ijtihad yang pada gilirannya mengkristal ke dalam bentuk sunnah umat Islam.[48]
Kesimpulan Rahman dari analisis proses evolusi sunnah Nabi menjadi “sunnah yang hidup” dan kemudian diformalisir menjadi hadis adalah bahwa sebagian besar dari hadis tidak lain merupakan sunnah hasil ijtihad generasi pertama kaum muslim. Sunnah tersebut berasal dari ide individu, tetapi setelah lama berinteraksi akhirnya menjadi praktik yang disepakati di kalangan mereka. Dengan kata lain, “sunnah yang hidup” di masa awal tersebut terlihat sebagai hadis dengan disertakan rangkaian perawi.[49]
Meskipun meragukan sebagian besar untuk tidak mengatakan keseluruhan hadis teknis, namun Rahman menerimanya sebagai prinsip, yakni bahwa hadis-hadis tersebut harus dipandang sebagai indeks kepada sunnah Nabi, karena ia jelas sekali tidak terpisah dari sunnah tersebut, bahkan bermula darinya. Dengan demikian, sunnah kaum muslim awal merupakan kristalisasi interpretasi kreatif terhadap sunnah Nabi, sedang hadis-hadis tidak lain dari refleksi verbal sunnah yang hidup. Dengan demikian, sunnah Nabi eksis dalam hadis sebagaimana halnya “sunnah yang hidup.” Dengan menggunakan pemahaman terhadap evolusi hadis dan sunnah semacam ini sebagai basisnya, Rahman menegaskan bahwa kebutuhan kaum muslim dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup melalui studi historis terhadapnya.[50]
Penafsiran situasional itu akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin pokok ortodoksi dimodifikasi dan ditegaskan kembali. Sunnah yang berbicara determinisme dan karsa bebas manusia yang tercermin dalam hadis perlu ditarik dalam makna historis.
Dengan demikian, fungsi hadis selalu tercermin dalam berbagai konteks. Penafsiran situasional yang sama, juga harus dilakukan terhadap hadis-hadis hukum. Hadis-hadis ini harus dipandang sebagai satu masalah yang harus ditinjau kembali, bukan sebagai hukum yang sudah jadi (ready made law) yang harus diterapkan secara langsung. Penafsiran situasional atau historis dalam rangka mencairkan hadis-hadis ke dalam bentuk “sunnah yang hidup” ini akan membuat kita dapat menyimpulkan norma-norma dari hadis untuk diri kita sendiri melalui suatu teori etika yang memadai dan penubuhan kembali hukumnya.[51]
Berdasarkan analisis konsep dan data historis di atas, Rahman menyimpulkan sifat otoritas sunnah Nabi sebagai konsep pemayung yang bersifat umum (a general umbrella concept) daripada sebuah kandungan khusus yang harus dipegangi apa adanya. Dengan demikian, Rahman mengelaborasi analisis historisnya untuk merumuskan konsep sifat otoritas sunnah agar kondusif terhadap upaya pembaruan  hukum.  Konsep  ini  sejalan  dengan  teorinya  tentang legal spesifik al-Qur’an yang harus dikembangkan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika dikaitkan dengan ketetapan legal spesifik al-Qur’an, kedudukan sunnah merupakan model aplikasi, sedang legal spesifik al-Qur’an merupakan penjabaran dari prinsip umum al-Qur’an. Jika al-Qur’an dapat ditafsirkan dalam konteks yang baru, sunnah tentu lebih bisa ditafsirkan. Jika al-Qur’an pantas ditafsirkan pada prinsip umum al-Qur’an, maka sunnah tentu lebih pantas.[52]
Sifat otoritas sunnah yang dikembangkan Rahman secara teoritis dan historis belum dikembangkan mayoritas ahli fiqih. Yang ada barulah konsep tentang otoritas sunnah Nabi sebagai bayan al-Qur’an (otoritas intra Qur’ani) dan sebagai tashri‘ (otoritas ekstra Qur’ani). Semua bentuk bayan merupakan otoritas Nabi yang bersifat intra Qur’ani. Adapaun otoritas sunnah sebagai tashri‘, yakni sebagai penetap hukum yang bersifat independen dalam kasus-kasus yang al-Qur’an tidak menetapkan hukumnya, merupakan otoritas Nabi yang bersifat ekstra Qur’ani. Karena itu, kedudukan konsep Rahman mengenai sifat otoritas sunnah Nabi, minimal dapat dikatakan tidak bertentangan dengan konsep otoritas yang telah ada sebelumnya, karena masing-masing memilki konteks yang berbeda. Konsep otoritas sunnah sebagai bayan al-Qur’an dan sebagai tashri‘ dirumuskan dalam konteks istinbat al-hukm dengan latar belakang kemapanan sosial masyarakat muslim saat itu, sedang konsep Rahman mengenai sifat otoritas sunnah Nabi sebagai pemayung yang bersifat luwes dirumuskan dalam konteks tatbiq al-hukm dengan latar belakang situasional masyarakat modern abad ke-20. Selain itu, konsep yang pertama mengenai otoritas an sich, sedang yang kedua berbicara mengenai sifat otoritas, karena itu konsep Rahman dapat dipandang sebagai pengembangan konsep otoritas yang telah ada semenjak periode klasik.[53]
Uraian-uraian yang dikemukakan memperlihatkan bahwa Rahman selain mengkonfirmasi temuan kesarjanaan Barat kontemporer, juga memberi substansi yang baru terhadapnya. Penemuan Rahman bahwa konsep sunnah Nabi merupakan konsep yang valid (sahih) dan operatif sejak sebermula Islam. Sunnah atau ijma‘ kaum muslim awal berhubungan erat dengan sunnah Nabi. Interpretasi kreatif yang dilakukan oleh Rahman, telah membuat teorinya memiliki substansi yang berbeda dengan teori kesarjanaan Barat, meskipun bentuknya tidak dapat dikatakan tidak berbeda jauh. Skeptisisme Rahman terhadap historisitas koleksi-koleksi hadis (yakni hadis teknis) memang tidak berbeda dengan skeptisisme para sarjana Barat. Bahkan dalam kenyataannya, skeptisisme tersebut juga senada dengan Parwez. Skeptisisme semacam ini dapat dirujukkan sumbernya dalam tradisi modernisme klasik di anak benua Indo-Pakistan yang diinagurasi oleh Sir Sayyid beserta gerakan Aligarhnya.
Namun harus dicatat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara gagasan Rahman dengan skeptisisme hadis modernisme klasik, karena ia memandang bahwa koleksi hadis merupakan cetakan dari sunnah kaum muslim awal yang secara organis terkait dengan sunnah ideal Nabi yang dipandang sebagai indeks kepada sunnah Nabi.[54]
Berpijak pada pemahaman di atas, Rahman menegaskan kembali normativitas konsep Nabi yang berada satu posisi dengan kaum muslim pada umumnya, dan dalam taraf tertentu dengan Sir Sayyid yang juga menegaskan bahwa apabila suatu hadis telah terbukti kavaliditasannya  secara  historis, maka sunnah yang dikandungnya normatif bagi kaum muslim. Tetapi pemahaman Rahman yang dinamis terhadap sunnah Nabi  sebagai suatu konsep pengayom yang harus selalu ditafsirkan secara situasional ke dalam bentuk “sunnah yang hidup,” memperlihatkan perbedaan yang tajam baik dengan Sir Sayyid atau kalangan modernis maupun kaum muslim pada umumnya.
Kerangka teoritis secara historis yang dikembangkan Rahman tersebut merupakan sumbangan ilmiah yang sangat besar. Di era modern, multi penafsiran dan ilmu terhadap berbagai kajian sangat diperlukan. Dalam konteks ini, Rahman menyodorkan konsep baru tentang sunnah sebagai payung dan tidak berlaku secara spesifik mengantarkan umat Islam pada pemahaman terhadap realitas masyarakat. Ketetapan yang tertuang dalam sunnah dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dengan demikian, ketetapan itu tidak bersifat teologis normatif tetapi bersifat sosiologis historis.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari beberapa formulasi di atas dapat ditarik dua kesimpulan sebagai berikut: Pertama, menurut Rahman, sunnah berevolusi secara historis dan merupakan konsep yang valid, tidak sebagaimana yang dituduhkan para orientalis. Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua tidak sebagaimana tokoh modernis Islam seperti Sir Sayyid dan Parwez. Meskipun demikian, sunnah tidak sebagaimana penilaian tokoh tradisionalis dan fundamentalis yang menilai sunnah sebagai konsep dogmatik, yaitu hadis-hadis teknis yang di rujukkan kepada Nabi. Kedua,  menurut  Rahman,  sunnah  merupakan  praktik  yang hidup, bukan sebagai praktik yang normatif. Selain itu, ia merupakan konsep pemayung yang bersifat umum, bukan kandungan khusus yang harus dipegangi apa adanya. Oleh karena itu, sunnah dapat ditafsirkan dengan instrumen ijtihad sesuai situasi dan kondisi. sedangkan hadis bersifat formal dan berusaha menegakkan kepermanenan yang mutlak dari sintesis “sunnah yang hidup” yang berlangsung sampai abad ke 3H.

B.     Saran  
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baiknya di masa yang akan datang. Penulis juga menyarankan kepada pembaca, agar membaca buku-buku yang berkaitan dengan studi hadist. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan perlindungan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.



[1] Syamsul Anwar, “Paradigma Pemikiran Hadis Modern,” dalam Wacana Suatu Hadis Kontemporer (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 2002), hal. 157.
[2] Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), hal. 8.
[3] Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1995), hal. 14.
[4] Deoband adalah lembaga pendidikan Islam di India Utara. Madrasah ini didirikan pada pertengahan abad ke-19 oleh murid-murid Syekh Waliyullah. Selain Deoband terdapat madrasah lain seperti Madrasah Ahli Hadis dan Madrasah Barelawy. Kurikulum ketiga madrasah ini terbatas pada keagamaan murni seperti hadis, tafsir, hadis, fiqh, dan ilmu tata bahasa Arab.
[5] Ibrahim Musa, “Kata Pengantar,” dalam Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 1. Lihat John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 3 (New York: Oxford University Press, 1955), hal. 408.
[6] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago: Chicago University Press, 1982), hal. 121.
[7] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaruan Hukum Islam (Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo, 1997), hal. 19
[8] Ibid,. hal. 20
[9] Musa, “Kata Pengantar,” dalam Rahman, Gelombang, hal. 2.
[10] Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy (London: George Allen & Unwin, 1958), hal. 7.
[11] Musa, “Kata Pengantar,” dalam Rahman, Gelombang, hal.  4.
[12] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, diterjemahkan dari Islamic Methodology in History oleh Anas Mahyuddin, (Bandung, Pustaka: 1995), hal.  6
[13] Ignaz Goldzuher, Muhammadanische, Jilid 2 (Halle University Press, 1961), 5.Ini dikutip oleh Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman, hal. 128.
[14] Ibid., hal. 13.
[15] Ibid., hal. 12.
[16] Ibid..
[17] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 163
[18] Snouck Hurgronje, Selected Works (Leiden: E.J. Brill, 1957), hal. 7.
[19] Fazlur Rahman, Islam (Chicago & London: University of Chicago Press, 1979), hal. 45.
[20] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University Press, 1979), 2-3. Dalam artikel Sahid HM "Sejarah Evolusi Sunnah:Studi Pemikiran Fazlur Rahman" Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel. hal. 8
[21] Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indiana polis:American Trust Publication, 1968), xvii. Lihat Khayr al-Din al-Zirikli, al-A‘lam, Juz 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1980), hal. 10.
[22] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), hal. 5.
[23] Amal, Islam, hal. 86-87.
[24] Rahman, Islamic Methodology, hal. 6.
[25] Fazlur Rahman, “Islam: An Overview,” dalam The Encyclopedia of Religion,(ed.) Mircea Eliade, Vol. 7 (New York: Mac Millan Publiching Co., 1987), hal. 309.
[26] Ibid., hal. 7.
[27] Mas’adi, Pemikiran, 131-132. Lihat Rahman, Islam, hal. 55.
[28] Rahman, Islamic Methodology, hal. 7.
[29]Ibid., hal. 12
[30] Ibid., hal. 13
[31] Ibid., 14. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman, hal. 136-137.
[32] Ibid., hal. 7-8.
[33] Rahman, Islam,. hal. 50
[34] Rahman, Islamic Methodology, hal. 11.
[35] Ibid., ..
[36] Amal, Islam, hal. 168.
[37] Rahman, Islamic Methodology, hal. 19.
[38] Ibid., hal. 20-24.
[39] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 16.
[40] Mas’adi, Pemikiran, hal. 90-92.
[41] Rahman, Islam, hal. 76.
[42]Ibid., hal. 63-64.
[43] Rahman, Islamic Methodology, hal. 33-35.
[44] Ibid., 139-140. Amal, Islam, hal. 171-172
[45] Ibid., hal. 74.
[46] Ibid., hal. 75.
[47] Mas’adi, Pemikiran, hal. 95-96.
[48] Rahman, Islamic Methodology, hal. 31-32.
[49] Ibid., hal. 45.
[50] Amal, Islam, hal. 172.
[51] Rahman, Islamic Methodology, hal. 78-80.
[52] Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman, hal. 139.
[53] Ibid., hal. 139-140.
[54] Amal, Islam, hal. 175.

Komentar